Senin, 27 September 2021

Negeri ku ngeri.

 Negeri yang mulai ngeri, kadang benar bahwa semakin dewasa tak menjamin mental semakin menua, bahkan kadang semakin kenak-kanakan.

Kenak-kanakan yang dimaksudkan yaitu sikap dan sifat yang tak stabil, suka mengadu dan mengeluh karena takut hargadirinya di rasa akan jatuh.

Padahal itu hanya kritik dan bahkan kritik jenaka semata, mereka yang mengkritik karena karena merasa memang sudah haknya karena sudah kadung memberikan kepercayaan dan curiga sedikit di bohongi dan bahkan dikhianati.

Dapat diartikan mereka yang di kritik cendrung karena iseng, sebab tidak ada pekerjaan. Karena mencari pekerjaan sangat sulit dan kalaupun ada tidak dapat dijangkau karena persyaratan yang ketat dengan syarat-syarat administratif yang sudah legal masih saja harus kembali di legalisir, artinya barang yang sudah sakral masih harus lebih di sakralkan, sebegitu cutigakah pada mereka yang memang sudah lama bertapa di bangku belajar dan berjuang untuk mendapatkan selembar kertas syarat untuk mendapatkan rezeki.

Tapi masih saja iya si iseng dan usil, masih harus menuai cerita kekecewaan, saat semua sudah lengkap sebagaimana melewati hal sakral kembali disakralkan, di perlintasan saja ternyata harus terhenti karena adanya telikung dari pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, sehingga harus gigit jari, karena tidak kebagian bangku yang harusnya harga tiketnya murah dan terjangkau menjadi setinggi langit sampai tak tersisa baginya yang hanya memiliki pikiran "pintar" tapi kurang modal, dalam candaan warung kopi, yang anak konglomerat tak boleh melarat, sedangkan si konglomrat cendrung membuat si melarat sekarat.

Namun opsi tersebut tidaklah terjadi pada negeri hari ini, itu adalah propaganda pada orde sebelum 014, entah di tahun keberapa sudah lupa, untuk era kekinian hanya tersisa momok saja, sebab dari himpunan beberapa cerita hari ini si melarat punya peluang untuk jadi konglomrat murni.

Harapannya semoga terus berlanjut untuk merajut negeri yang di cita-citakan, yaitu negeri yang penuh dengan kedamaian dan perdamaian abadi, negeri yang adil dan memberikan rasa makmur bagi mereka yang menghirup udara dan bercocok tanam diatas tanah yang terhampar luas.

Kalaupun hari ini masih banyak kebingungan-kebingungan yang timbul karena sembrautnya informasi, yang tampaknya cendrung saling fitnah. Indikasinya karena kebanyakan dari lakon ingin dinobatkan sebagai yang terbaik, padahal sudah sering di ucapkan oleh guru bangsa almarhum Abdur Rahman Wahid "biar sejarah yang membuktikan". Dalam pemahan awam penulis tidak perlu memaksakan diri untuk menyatakan saya yang terbaik, karena mengacu pada beberapa litaratur ilmu sosiologi. Semakin seseorang mengaku dirinya yang terbaik maka cendrung dia adalah yang terburuk.

Untuk itu di era digital ini akan sangat bahaya jika kita terlalu cepat mengambil kesimpulan atas benar dan salahnya seseorang, jauh lebih dewasa apabila kita melakukan tabayun, atau menghimpun informasi banyak mungkin untuk menghakimi seseorang, sebab bilamana kita gegabah maka kita akan menyesal dan menyatakan oh......ternyata benar dia dan ternyata lebih baik zaman dia.



Sebilah pisau sisakan luka abadi.

Jalan hidup, merupakan trah setiap insan dan mahluk yang bernyawa. Tidak akan pernah lepas dari hak dan kewajiban.
Berjalan beriringan teratur, tidak akan adil jika terdapat ketimpangan di dalamnya, karena ketimpangan hanya akan menimbulkan keburukan yang berimplikasi pada keterpurukan sejati.
Bilamana hal itu terjadi, maka cita cinta untuk mendapatkan kedamaian dan perdamaian hanyalah menjadi angin lalu, angin yang tak memberikan kesejukan. akan tetapi hiruk pikuklah yang akan menjadikan alam pikir ciptakan ketidak Adilan kepada nurani, nurani yang selalu berkehendak tulus (jujur) terhadap entitas alam kasat mata.
Namun apalah daya. Manusia tidak lepas dari belenggu nafsu, akan sangat mustahi jika ada manusia yang menyatakan tidak memiliki nafsu, karena Tuhan tidak pernah ingkar atas janjinya, yaitu manusia bernafsu adapun malaikat hanya di perintahkan tunduk dan patuh atas perintah Tuhan, tanpa harus mengingkari sedikitpun.
Yang hidup di alam fana pastilah bernafsu setidaknya bernafsu untuk makan dengan permulaan rasa lapar dan dahaga, maka timbulnya dua rasa termaksud atas dorongan nafsu (kehendak). Dengan kehendak itu bilamana tidak bisa mengendalikan dengan sungguh akan timbul keniscayaan untuk nista, tidak berharga Dimata manusia dan akan sangat tersiksa di alam baka kelak, ketika nafas tak lagi di kandung badan, memasuki kehidupan alam kubur dan alam pembalasan.
Maka permintaan yang paling pertama kali diminta ialah kembalikan ke alam dunia, sebagaimana yang di dalilkan di dalam firman-nya, tidak lain hanya ingin membuat utuh kehidupan sosial (sedekah) dan menyempurnakan pengabdian terhadap Tuhan (sholat).
Tapi apalah daya semuanya sudah terlambat, terlambat sejak nafas di kerongkongan, dia manusia yang sudah tak bernyawa dan dimakan ulat tanah, merasakan penyesalan karena kesia-siaan yang tak terhingga. 

Pertanda malam untuk pak tani

begitu indah dan teraturnya tuhan (Allah) menciptakan alam, sehingga dalam setiap peristiwa menjadi pertanda, pagi datang dengan terbit...